Perekonomian Indonesia
Struktur Produksi, Distribusi
Pendapatan dan Kemiskinan (Bag.2-habis)
1. Distribusi Pendapatan Nasional &
Kemiskinan
a. Mengenai Distribusi Pendapatan Nasional dan
Kemiskinan di Indonesia
Masalah besar yang
dihadapi negara sedang berkembang adalah disparatis (ketimpangan) distribusi
pendapatan dan tingkat kemiskinan. Tidak meratanya distribusi memicu terjadinya
ketimpangan pendapatan yang merupakan awal
dari munculnya kemiskinan. Membiarkan kedua masalah tersebut
berlarut-larut akan membuat keadaan masalah tersebut semakin buruk, dan tidak
jarang menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi sosial dan politik.
Masalah kesenjangan dan kemiskinan tidak saja dihadapi negara yang sedang
berkembang, namun negara yang maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan
ini. Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat
kesenjangandan angka kemiskinan yang terjadi,serta kesulitan mengatasinya yang
dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu negara. Semakin besar
angka kemiskinan ,semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya. Negara
maju menunjukan tingkat kesenjangan pendapatan dan angka kemiskinan dan
relative kecil dibanding negara yang sedang berkembang,dan untuk mengatasinya
terlalu sulit mengingat GDP dan GNP mereka relative tinggi. Walaupun demikian
masalah ini bukan hanya menjadi internal suatu negara,namun telah menjadi
permasalahan bagi dunia intenasional.
Bagi upaya yang
telah dan sedang dilakukan oleh dunia internasional ,baik berupa bantuan maupun
pinjaman pada dasarnya merupakan upaya sistematis untuk memperkecil kesenjangan
pendapatan dan tingkat kemiskinan yang terjadi di negara-negara miskin dan
berkembang. Beberapa lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia serta
lembaga-lembaga keuangan lainnya berperan dalam hal ini. Kesalahan pengambilan
kebijakan dalam pemanfaatan bantuan dan atau pinjaman tersebut justru dapat
berdampak buruk bagi struktur sosial dan perekonomian negara yang
bersangkutan.Perbedaan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber
daya dan faktor produksi terutama kepemilikan barang modal (capital stock).
Pihak (kelompok masyarakat) yang memilki
faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak
pula. Menurut teori neoklasik, perbedaan pendapatan dapat dikurangi melalui
proses penyesuaian otomatis,yaitu melalui proses “penetasan” hasil pembangunan
ke bawah (trickle down) dan kemudian menyebar sehingga menimbulkan keseibangan
baru. Penetapan pajak pendapatan /penghasilan akan memngurangi pendapatan
penduduk yang pendapatannya tinggi.Sebaliknya subsidi akan membantu penduduk
yang pendapatannya rendah asalkan tidak salah dalam pengalokasiannya.
b. Menganalisis tentang Distribusi Pendapatan
Di dalam suatu
perekonomian pendapatan tercipta melalui suatu kegiatan produksi. Kegiatan
produksi berlangsung dengan bantuan faktor-faktornya, seperti tanah, tenaga
kerja, modal dan enterpreneur. Di satu pihak ada perusahaan yang melakukan
produksi dan di pihak lain ada kelompok masyarakat selaku penyedia
faktor-faktor produksi. Di dalam perputaran kegiatan perekonomian, antara
perusahaan dan rumah tangga (masyarakat) terjadi arus timbal balik. Pihak rumah
tangga menerima pembayaran atas harga dari faktor produksi yang disediakan
berupa gaji/upah, sewa bunga dan keuntungan. Pihak perusahaan menerima
pembayaran sebagai harga barang dan jasa yang diproduksikan. Dari proses ini
menimbulkan semacam pola pembagian pendapatan, yang pada dasarnya dapat
merupakan suatu ukuran tentang keadaan distribusi pendapatan, yang dalam
konteks teori ekonomi merupakan salah satu indikator dalam pembangunan ekonomi
seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Pada dasarnya ada
dua pendekatan analitis di dalam menilai distribusi pendapatan, yaitu:
·
Distribusi pendapatanfungsional yang berasal
dari teori produktivitas marginal, atau lebih dikenal sebagai distribusi balas
jasa input dalam teori ekonomi mikro,
·
Distribusi pendapatan antar kelompok, atau
distribusi besarnya pendapatan relatif terhadap total. Pendekatan ini merupakan
konsep empiris untuk menentukan atau menilai bagaimana pendapatan total
populasi telah terbagi diantara unit-unit penerima pendapatan. Konsep
distribusi pendapatan fungsional adalah sumbangan dari para ahli ekonomi klasik
yang tertarik pada distribusi pendapatan di antara penduduk, dandengan anggapan
yang disederhanakan yakni pemilikan dari faktor-faktor produksi utama. Konsep
dari pendekatan ini, melacak pembagian pendapatan yang dihasilkan oleh kegiatan
produksi yang diikutsertakan dalam kegiatan tersebut. Perangkat analisisnya
adalah fungsi produksi serta alokasi faktor-faktor produksi yang diikutsertakan
dalam fungsi. Pendekatan ini jarang dipakai karena teori mendasarinya menilai
hubungan antara balas jasa input yang dipergunakan dengan output yang
dihasilkan di dalam suatu proses produksi spesifik. Pendekatan yang lazim
digunakan adalah pendekatan kedua, atau distribusi pendapatan antar kelompok.
Pada pendekatan
ini ada dua cara yang lazim digunakan untuk langsung menilai status distribusi
pendapatan yaitu :
-
penaksiran distribusi persentase pendapatan yang
diterima masing-masing golongan,
-
penaksiran dengan indikator khusus. Penaksiran
pertama dilakukan dengan membagi kelompok-kelompok pendapatan ke dalam decile
atau quantile yang akan menggambarkan pola pembagian pendapatan di dalam suatu
kelompok masyarakat. Hasil dari pengelompokkan ini merupakan suatu dasar untuk
menggambarkan sebuah kurva Lorenz. Kurva ini memperlihatkan hubungan
kuantitatif yang sebenarnya (actual) antara persentase penerima penghasilan dan
persentase jumlah penghasilan yang mereka terima sebenarnya dalam jangka waktu
tertentu, biasanya satu tahun (Todaro, 2008). Penaksiran yang kedua adalah
menilai atau mengukur suatu distribusi pendapatan berdasarkan indikator yang
seringkali didekati dengan cara statistik dan cara empiris. Cara statistik
terdiri dari range, perbedaan relatif, varian, Koefisien Pearson dan lainnya.
Cara empiris meliputi Koefisien Pareto, Koefisien Gini, Index Gibrat, Index
Kuznets, Index Theil, Index Oshima dan lainnya. Pendekatan lain yang seringkali
digunakan untuk melengkapi kedua pendekatan terdahulu, yakni pendekatan absolut
dengan menggunakan ukuran batas kemiskinan dan kebutuhan dasar manusia. Ukuran
yang sering digunakan: kebutuhan kalori dan protein, ukuran Sejogyo dan ukuran
dari Bank Dunia.
Berbagai macam
alat pengukuran banyak dijumpai dalam mengukur tingkat distribusi pendapatan
penduduk. Diantara alat tersebut yang sangat umum dipergunakan adalah Gini
Indeks.
c. Kemiskinan yang dikemukakan oleh beberpa
ahli
Kemiskinan dalam
perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber
daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis
kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas.
Kemiskinan sebagai
suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang
sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika
Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada
era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum
miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya
sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya
juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap
penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Kaum miskin
biasanya disebut dengan kelompok masyarakat yang memiliki subkultur tertentu
yang berbeda dari golongan yang tidak miskin, seperti memiliki sikap fatalis,
tidak mampu melakukan pengendalian diri, berorientasi pada masa sekarang, tidak
mampu menunda kenikmatan atau melakukan rencana bagi masa mendatang, kurang
memiliki kesadaran kelas, atau gagal dalam melihat faktor-faktor ekonomi
seperti kesempatan yang dapat mengubah nasibnya.
Ada beberapa
pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang sebuah kemiskinan :
Menurut, Oscar Lewis (1983)
Orang-orang miskin
adalah kelompok yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri yang mencakup
karakteristik psikologis sosial, dan ekonomi.
Menurut, Philips dan Legates (1981)
mengemukakan
beberapa pandangan tentang kemiskinan, yaitu pertama, kemiskinan dilihat
sebagai akibat dari kegagalan personal dan sikap tertentu khususnya ciri-ciri
sosial psikologis individu dari si miskin yang cendrung menghambat untuk
melakukan perbaikan nasibnya. Akibatnya, si miskin tidak melakukan rencana ke
depan, menabung dan mengejar tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kedua,
kemiskinan dipandang sebagai akibat dari sub budaya tertentu yang diturunkan
dari generasi ke generasi.
Menurut, Flanagan (1994)
ada dua pandangan
yang berbeda tentang kemiskinan, yaitu culturalist dan structuralist.Kulturalis
cendrung menyalahkan kaum miskin, meskipun kesempatan ada mereka gagal
memanfaatkannya, karena terjebak dalam budaya kemiskinan. Strukturalis
beranggapan bahwa sumber kemiskinan tidak terdapat pada diri orang miskin,
tetapi adalah sebagai akibat dari perubahan priodik dalam bidang sosial dan
ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan
sebagainya.
Menurut, BAPPENAS (1993)
mendefisnisikan
keimiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak
oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan
kekuatan yang ada padanya.
Menurut, Faturchman dan Marcelinus Molo
(1994)
mendefenisikan
bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah tangga untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya.
Menurut, Ellis (1994)
kemiskinan
merupakan gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi,
sosial politik.
Menurut, Suparlan (1993)
kemiskinan
didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya
suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang
dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Menurut,
Reitsma dan Kleinpenning (1994)
mendefisnisikan
kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, baik
yang bersifat material maupun non material.
Menurut, Friedman (1979)
mengemukakan
kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan basis
kekuasaan sosial, yang meliptui : asset (tanah, perumahan, peralatan,
kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisiasi
sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama,
jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan
keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna.
Masing-masing
pandangan tersebut bukan hanya berbeda dalam konsep kemiskinan saja, tetapi
juga dalam implikasi kebijakan untuk menanggulanginya.
Jika dilihat dari
argumentasi diatas mayoritas kemiskinan yang hadir saat ini merupakan dominasi
kemiskinan struktural, tidak ada proses transformasi kelas dimana buruh tani
tetaplah menjadi buruh tani, begitu pula nelayan, pemulung, dan lain-lain.
Jikapun ada program penanggulangan kemiskinan sifatnya residual, proyek,
insidental, tidak berkelanjutan dan tidak mengena pada substansi atau menyentuh
akar dari kemiskinan.
d. Penanggulangan Kemiskinan
Teori ekonomi
mengatakan bahwa untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan
peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi,
dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai suntikan maka diharapkan
produktifitas akan meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya tidak semudah
itu. Lantas sapa yang
dapat dilakukan?
Program-program
kemiskinan sudah banyak dilaksanakan di berbagai negara. Sebagai perbandingan,
di Amerika Serikat program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk
meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara bagian, memperbaiki kondisi
permukiman perkotaan dan perdesaan, perluasan kesempatan pendidikan dan kerja
untuk para pemuda, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa,
dan pemberian bantuan kepada kaum miskin usia lanjut. Selain program
pemerintah, juga kalangan masyarakat ikut terlibat membantu kaum miskin melalui
organisasi kemasyarakatan, gereja, dan lain sebagainya.
Di Indonesia
program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula dilaksanakan,
seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu
pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani program tersebut secara
menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia
pada pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial
(JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut terlibat dalam berbagai kegiatan.
Sedangkan, P2KP
sendiri sebagai program penanggulangan kemiskinan di perkotaan lebih
mengutamakan pada peningkatan pendapatan masyarakat dengan mendudukan
masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui
partisipasi aktif ini dari masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran tidak
hanya berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut serta menentukan program
yang paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi
hasil dari pelaksanaan program. Nasib dari program, apakah akan terus berlanjut
atau berhenti, akan tergantung pada tekad dan komitmen masyarakat sendiri.
e. Pertumbuhan dan pemerataan dalam konteks
pembangunan ekonomi Indonesia selama ini
Tujuan dari
pembangunan adalah kemakmuran bersama. Pemerataan hasil pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk menciptakan kemakmuran bersama merupakan
tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Tingkat pertumbuhan yang tinggi tanpa
disertai pemerataan pembangunan hanyalah menciptakan perekonomian yang lemah
dan eksploitasi sumber daya manusia yang tinggi untuk menciptakan kemakmuran
bersama. Dari segi pendidikan, Indonesia masih mengalami masalah
ketidakmerataan pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan akan mengakibatkan
rendahnya produktivitas dan berakibat pula pada rendahnya tingkat pendapatan.
Kesenjangan tingkat pendidikan mengakibatkan adanya kesenjangan tingkat
pendapatan yang semakin besar. Pemerataan hasil pembangunan perlu diupayakan
supaya pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pemerataan pendidikan
dan pemerataan fasilitas kesehatan merupakan salah satu upaya penting yang
diharapkan meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dengan menciptakan sumber
daya manusia yang berkualitas. Dan banyak hal yang dapat dilakukan oleh
pemerintah sebagai upaya untuk meningkatan pertumbuhan dan pemerataan
pembangynan Indonesia, sebagai contoh dengan mengefisiensikan penerimaan pajak,
meningkatkan perdagangan dengan luar negeri, meningkatkan investasi langsung
dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar