MENGGUGAT PENDIDIKAN KARAKTER
Suatu bangsa akan menjadi besar
jika generasinya memiliki karakter yang baik dan pembentukan karakter hanya
akan terjadi melalui proses pendidikan…
Pendidikan karakter di
institusi-institusi pendidikan belakang ini mendapat banyak sorotan dari
kalangan pengguna jasa dan pemerhati pendidikan baik di mediamassa, seminar,
dan berbagai kesempatan. Hal ini sehubungan dengan maraknya penyimpangan prilaku
yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual,
perusakan,perkelahian massa, , etika yang menipis kurangnya tenggang rasa dan
tanggung jawab menjadi konsumsi sehari-hari di media masa, yang menghawatirkan
kondisi ini muncul di lingkungan pelajar dan mahasiswa seolah-olah mereka tidak
pernah mendapatkan pendidikan karakter sewaktu duduk di bangku sekolah.
Sehingga persoalan karakter menjadi masalah moral yang serius di bumi Indonesia
ini. Padahal Tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman , bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa ,
berakhlak mulia , sehat, berilmu, cakap , kreatif , madiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Bahkan secara implisit termuat
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di
mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi
pembangunan nasional, yaitu “Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral,
beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.”
Munculnya gugatan-gugatan
terhadap institusi pendidikan mengenai bagaimana peranan selama ini dan hal-hal
apa saja yang diajarkan di bangku-bangku sekolah tentang penanaman nilai-nilai
karakter terhadap anak didik, perlu mendapatkan perhatian yang serius, sebab
bagaimanapun institusi-intitusi pendidikan masih dipercaya sebagai
lembaga-lembaga pewaris nilai-nilai karakter seperti yang terumuskan dalam
Tujuan Pendidikan Nasional. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang
bersifat preventif yang diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda
bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab
berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Walau institusi pendidikan ini
bukan satu-satu faktor penyebab munculnya penyimpangan prilaku yang terjadi
saat ini.
”What’s wrong with our classrooms
? ” Pertanyaan inilah yang perlu kita ajukan sebagaimana John.F Kennedy
merespon kekalahan kecanggihan teknologi Amerika oleh Rusia. Apa yang terjadi dengan
ruang-ruang kelas kita selama ini , sehingga produk-produk pendidikan kita
tidak sejalan dengan rumusan tujuan pendidikan nasional. ?
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dimaknai sebagai
pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri
peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter
dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai
anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan
kreatif . Pendidikan karakter dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau
kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Pendidikan nilai
ini mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta
didik agar menyadari nilai-nilai kebenaran , kebaikan dan keindahan melalui
proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten (
Mulyana : 2004). Nilai-nilai karakter tersebut berasal dari pandangan hidup
atau ideologi bangsaIndonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan
dalam tujuan pendidikan nasional. Dengan nilai-nilai tersebut diharapkan mampu
mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan
warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; mengembangkan
kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan
nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; menanamkan jiwa
kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif,
berwawasan kebangsaan; dan mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai
lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta
dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
(Kemendiknas:2011).
Pada saat ini implemetasi
pendidikan karakter di institusi-intitusi pendidikan dilakukan dengan 3 cara,
yaitu kesatu program integrasi, yang beranjak dari pandangan komplementer
proses belajar yang dianggap sebagai satu kesatuan yang utuh saling melengkapi.
Ketika anak belajar Ilmu Pengetahuan Alam, ia diarahkan pada pertimbangan moral
dan etika lingkungan; belajar matematika bukan hanya pandai menggunakan angka,
tetapi ia harus mampu berpikir logis tentang masalah-masalah social; begitu
juga dengan pelajaran-pelajaan lainnya. Lebih jauh program pengintegrasian ini
pemerintah mengembangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi ( KBK) dan sebagai salah
satu bentuk realisasi kebijakan desentralisasi di bidang pendidikan agar kurikulum
benar-benar sesuai dengan kebutuhan pengembangan potensi peserta didik di
sekolah yang bersangkutan di masa sekarang dan yang akan datang dengan
mempertimbangkan kepentingan lokal , nasional dan tuntutan global dengan
semangat Managemen Berbasis Sekolah ( MBS ) maka KBK disempurnakan menjadi
Kurikulum Satuan Pendididkan ( KTSP) ( Depenas : 2006 ). Kurikulum ini
bertujuan memadukan domain atau muatan kurikulum dalam diri peserta didik,
sehingga kemampuan anak dalam mengembangkan potensi berpikir , perasaan dan
tindakan dikembangkan secara seimbang melalui suatu pendekatan terpadu dalam
metode maupun evaluasi. Untuk memperlancar tujuan itu pemerintah mewajibkan
kepada intitusi-intitusi pendidikan dalam proses pembelajaran supaya
mengembangkan pendekatan-pendekatan yang mengacu kepada pengembangan diri
siswa. Pendekatan-pendekatan dalam pembelajaran yang disarankan diantaranya ;
pembelajaran Kontekstual ( cotextual teaching and learning ), Cara Belajar
Siswa Aktif ( CBSA), Belajar Quantum, Penilaian berbasis Kelas (PBK) yang
tercakup dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ). Kedua kegiatan
ekstrkurikuler, dalam kegiatan ini , proses pembelajaran nilai secara terpadu
sering terjadi karena nilai dikembangkan melalui paket kegiatan yang
memungkinkan siswa berinteraksi dengan teman, guru, masyarakat, benda , alat
fasilitas, hewan, sistem organisasi, dan lain-lain yang membawa mereka pada
kesadaran nilai , moral, etika , estetika, bahkan pada kesadaran nilai-nilai
Ilahiyah. Kegiatan ini dikembangkan melalui kegiatan pramuka, pencinta alam,
peringantan hari besar Islam (PHBI) dll. Ketiga melalui kurikulum tersembunyi,
yaitu kurikulum yang tidak dipersiapkan dan direncanakan biasanya berupa
aktifitas aktifitas nyata yang di lihat dan dirasakan oleh peserta didik di
sekitar lingkungan dimana ia belajar.
Pergeseran subtansi Pendidikan.
Upaya-upaya pemerintah untuk
mengembangkan pendidikan karakter ternyata tidak semulus apa yang diharapkan,
banyak kendala yang dihadapi dilapangan . Diantaranya kendala pendidikan
karakter terabaikan adalah terjadinya pergeseran subtansi pendidikan ke
pengajaran. Makna pendidikan yang sarat dengan muatan nilai-nilai moral
bergeser kepada pemaknaan pengajaran yang berkonotasi sebagai transfer
pengetahuan. Lebih ironis lagi , sinyalemen itu terjadi pada mata pelajaran
yang berlabelkan agama atau Pendidikan Kewargaan negara ( PKn) yang tentunya
syarat dengan muatan nilai , moral, dan norma . Tampaknya tak sulit untuk kita
temukan bahwa pada dua jenis mata pelajaran tersebut pengukuran aspek kognitif
berlangsung seperti halnya terjadi pada mata pelajaran lain.
Perubahan subtansi pendidikan ke
pengajaran berdampak langsung terhadap pembentukan kepribadian peserta didik.
Otak siswa yang dijejali berbagai pengetahuanbakumenyebabkan peserta didik
kurang kritis dan kreatif. Selain itu terabaikannya sistem nilai yang
semestinya menyertai proses pembelajaran dapat mengakibatkan ketimpangan
intelektual dengan emosional yang pada gilirannya akan melahirkan sosok
spesialis yang kurang peduli terhadap lingkungan.
Terjadinya pergeseran subtansi
pendidikan ini terutama disibebakan oleh ; Pertama, masih kukuhnya pengaruh
paham assosiasi dan behaviorisme dalam pendidikan khususnya dalam proses
pembelajaran kita. Paham ini mengacu pada pertimbangan atribut-atribut luar
seperti perubahan tingkah laku peserta didik yang dapat diamati dan di ukur
karena pola jaminan belajarnya melalui serangkai test –teach –test.
Pendidikan hanya untuk memenuhi
banking system of education yang membelengu peserta didik dari ketertindasan
sehingga pengajaran hanya mengutamakan penguasaan materi pelajaran,
(content-oriented ) bukan berorientasi pada kebutuhan perkembangan siswa (
student-oriented ) ( Freire dalam Suyanto :2004 ). Konsekuensinya, proses dan
evaluasi keberhasilan pendidikan terpaku kepada yang dapat diangkakan.
Pertanyaan yang bernada fesimistikpun muncul , seperti : Apakah nilai 9 pada
pelajaran agama dan PKn sudah dapat mengukur kualitas ketaqwaan dan kesadaran
menjadi warga negara yang baik ?. Padahal paham kurikulum yang seharusnya
digunakan adalah pahan kognetif konstruktivisme yang lebih menekankan kepada
proses pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara social dan
cultural , mendorong siswa membangun pemahaman dan pengentahuan sendiri dalam kontek
social , dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perfektif budaya.yang
paham ini di Indonesia secara resmi penggunaanya telah dirintis sejak
disosialisasikannya KBK tahun 2004 ( Khamdi :2004). Kedua, kapasitas mayoritas
pendidik dalam mengangkat struktur dasar bahan ajar masih relative rendah . Hal
ini tidak terlepas dari keterbatasan sumber bacaan , kurangnya dukungan ,
pengalaman pendidikan yang kurang menguntungkan, sehingga nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap mata pelajaran terabaikan bahkan hilang dari
pembelajaran. Faktor ini potensial untuk menjadi penyebab tidak sedikitnya
peristiwa dalam pendidikan yang ”mencekoki ” peserta didik. Ketiga , masih
kentalnya pandangan terhadap mata pelajaran tertentu . Dilain pihak , Ilmu
Pengetahuan Alam dipandang cepat mendatangkan uang sehingga lebih disukai para
peminat , sedang di lain pihak Ilmu pengetahuan sosial yang dipandang sebagai
ilmu kelas dua kerap dianggap kurang menarik. Dengan demikian , pendidikan
semestinya berperan sebagai ajang pemanusiaan manusia kian terdepak oleh
nilai-nilai pragmatis demi mencapai tujuan material. Keempat Terdapatnya sifat
kurang menguntungkan bagi tegaknya demokrasi pendidikan. Sikap kehati-hatian
politis dari para pemimpin lembaga kependidikan yang diikuti oleh sikap tunduk
dari bawahan dan pendirian konservatif yang diikuti oleh sikap resisten
terhadap perubahan, merupakan factor penghambat tumbuhnya demokarasi pendidikan
di lingkungan pendidikan formal . Kekuatan akar rumput ( grassroot ) yang
seharusnya menjadi penggerak utama demokrasi pendidikan tidak jarang kurang
mendapatkan tempat. Sikap dan pendirian demikian hanya akan melahirkan
tindakan-tindakan kontra produktif, ikatan emosional seolah-olah, dan sikap
acuh tak acuh pada diri pendidik dan peserta didik , yang makin lama makin
terlembagakan. Kasus nyata dalam hal ini adalah kontroversinya pelaksanaan
Ujian Nasional ( UN ). Padahal esensi pembaharuan pengajaran ke arah pendidikan
khususnya dalam pendidikan karakter memerlukan elemen-elemen dasar pendidikan
yang disemai dalam suasana kebersamaan., kebebasan, dan keberdayaan pendidik
dan peserta didik. Kendala-kendala di atas apabila tidak segera dibenahi tidak
menutup kemungkinan dekadensi moral dikalangan pelajar dan mahasiswa semakin
menjadi-jadi, seperti yang diungkapkan oleh Zakia Daradjat ( 1977 ) , usaha
untuk menanggulangi kemerosotan moral telah banyak dilakukan, baik oleh lembaga
keagamaan, pendidikan, social, dan instansi pemerintah . Namun kemerosotan
moral semakin menjadi-jadi , tidak saja terbatas di kota-kota besar melainkan
juga sampai kepelosok-pelosok desa terpencil ( Retnaningrum : 2003 ).
Upaya pemecahan
Upaya penanggulangan permasalahan
mengenai penyimpangan prilaku yang terjadi saat ini dilihat dari factor
penyebabnya, sangat pelik karena melibatkan seluruh elemen lingkungan
pendidikan mulai dari lingkungan sekolah , lingkungan keluarga dan lingkungan
masyarakat yang diistilahkan oleh Ki Hajar Dewantoro dengan istilah Tri Pusat
Pendidikan. Ketiga pusat pendidikan ini sangat tergantung satu sama lainnya
dengan kata lain apabila terjadi kepincangan dalam satu lingkungan pendidikan
akan berpengaruh ke lingkungan pendidikan lainnya. Pada saat ini ketiga
lingkungan pendidikan ini telah terjadi keretakan ( Mulyana : 2004 ), keretakan
ini disebabkan oleh derasnya terpaan globalisasi informasi dan modernisasi yang
mengakibatkan terjadinya pergerakan perubahan dari proses hidup alamiah ke
dunia baru yang cenderung individualistis dan materialistis . Tetapi apabila
dikaji dari ketiga lingkungan tersebut lingkungan sekolah dipandang sangat
dominan dalam upaya menanggulangi penyimpangan prilaku terutama dikalangan
siswa dan mahasiswa, karena lingkungan ini adalah lingkungan pendidikan formal
yang dibentuk secara sengaja dan dilembagakan yang didalamnya terjadi hubungan
guru dan siswa, jadi lebih terprogram dan terarah dibandingkan dengan dua
lingkungan pendidikan lainnya. Dilain pihak proses pembentukan kepribadian
seseorang hanya terbatas ketika mencapai usia 20 atau 21 tahun. Jika melewati
batas ini, sudah sulit memasukkan nilai-nilai karena harus membangun kembali
kepribadian yang telah terbentuk ( reconstrucstion of personality )( Corner :
2003 ). Sedang usia sampai 20 atau 21 tahun itu berada di usia sekolah. Dari
uraian di atas jelas upaya pertama di dalam penataan pendidikan karakter
terhadap seseorang harus dimulai dari lingkungan sekolah khususnya dari
ruang-ruang kelas atau dalam proses pembelajaran dimana siswa hampir separuh
waktu setiap harinya dihabiskan diruang-ruang kelas.
Salah satu upaya untuk menerapkan
pendidikan karakter dalam proses pembelajaran , kita harus mempertimbangkan
gagasan inovatif yang di ajukan oleh UNESCO tentang empat pilar pendidikan yang
di gagas dalam rangka menata kembali dunia pendidikan yang di nilai mengalami
sejumlah persoalan serius. Keempat pilar itu adalah ; belajar mengetahui (
learning to know ), belajar berbuat ( learning to do ) , belajar menjadi diri
sendiri ( learning to be ) , dan belajar hidup bersama ( learning to live
together ).
Keempat pilar ini bisa diadofsi
dan di jadikan pedoman oleh guru didalam memberi perlakuan terhadap siswa dalam
proses pembelajaran yang mengeintegrasikan pendidikan nilai dalam penyampaian
materi pembelajaran di ruang-ruang kelas. Untuk itu guru dituntut untuk
menyediakan suasana kondusif bagi perkembangan peserta didik. Penyediaan
suasana kondusif ini dilakukan dengan cara-cara penyadaran nilai sebagai
berikut; Pertama , peserta didik perlu dibimbing untuk memperluas wawasan
pengetahuannya tentang nilai, sehingga mereka dapat memberikan alasan-alasan
moral yang tepat sebelum mereka dituntut untuk melakukan dalam tindakannya.
Pendekatan berpikir yang perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran adalah
dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme , yakni membuka pengalaman , pengetahuan
, dan pemahaman secara aktif dengan melibatkan alasan-alasan moral ( moral
reasing ) siswa. Dengan cara demikian, proses belajar untuk mengetahui (
learnig to know ) terhadap nilai kebenaran , kebaikan , dan keindahan dapat
dilakukan secara sukarela , walaupun akhirnya diperlukan penegasan-penegasan
dari pihak pendidik.
Kedua , peserta didik perlu
dibimbing untuk terampil melakukan tindakan dari apa yang diyakininya sebagai
nilai kebenaran , kebaikan , dan keindahan. Tindakan atau perbuatan adalah dua
hal yang melekat dalam kehidupan nyata, sehingga pada hakikatnya belajar
bertindak dan berbuat merupakan belajar mengalami kehidupan sebenarnya. Hal ini
berarti bahwa membimbing dan melatih peserta didik untuk belajar bertindak dan
berbuat ( learning to do ) proses pembelajaran harus kontekstual ( contextual
teaching and learning ) sesuai dengan pengalaman hidup yang tengah dialami dan
diprediksi perilaku di masa mendatang.
Ketiga, peserta didik perlu
dibimbing kea rah pemilikan sifat-sifat yang baik secara melekat. Untuk itu
perlu adanya konsistensi , intensitas dan frekuensi dalam pembiasaan hal-hal
terpuji pada peserta didik sehingga belajar untuk dirinya sendiri ( learning to
be ) benar-benar melibatkan proses internalisasi yang mendalam. Ke empat ,
Peserta didik perlu dibimbing untuk hidup secara harmonis dengan lingkungannya.
Ia tidak dapat hidup tanpa adanya kepentingan dengan orang lain. Maka dalam
proses pembelajaran siswa harus lebih diarahkan pada kerja sama di dalam
memecahkan permasalah-permasalahan di kelas ( learning community ) contohnya
dengan menerapkan pendekatan cooperative learning Sehingga siswa terpasilitasi
untuk belajar hidup bersama ( learning to live together ).
Penjabaran ke empat pilar itu
sebenarnya pada saat ini sudah dikembangkan dengan pendekatan pembelajaran
kontekstual, yang dikenal dengan tujuh komponen CTL yang merupakan salah satu
ciri khas pendekatan pembelajaran KTSP. Ketujuh komponen itu ialah ;
konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri),
masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian
sebenarnya (Authentic Assessment).
Dengan demikian apabila sekolah
khususnya guru melaksanakan KTSP dengan konsisten, pendidikan nilai bukan
merupakan masalah lagi dalam penerapan di seting-seting kelas. Diharapkan
dengan melaksanakan cara-cara penerapan pendidikan karakter dalam proses
pembelajaran di atas, pendidikan karakter di instusi-intitusi pendidikan akan
berjalan dengan baik. Pendidikan karakter diruang-ruang kelas merupakan awal
yang baik dalam menanamkan nilai-nilai, norma dan etika, sebab diruang-ruang
kelas inilah siswa diperkenalkan dengan nilai dan norma, apalagi ditunjang
dengan kegiatan ekstrakurikuler yang terprogram dan pengembangan kurikulum
tersebunyi dalam artian segenap warga sekolah mulai dari kepala sekolah , guru
, karyawan memberikan contoh nilai-nilai yang baik dalam lingkungan sekolah.
Sebagai contoh apabila dalam suatu sekolah ada gairah siswa untuk melakukan
shalat berjamaan di mesjid sekolah, karena kepala sekolah dan guru sering
melakukan itu. Sebaliknya , adalah tidak mudah untuk merendam perselisihan
antar siswa di suatu sekolah karena gurunya pun sering memperlihatkan sikap
tidak bersahabat dengan rekannya. Apabila itu semua terwujud, untuk membentuk
lingkungan sekolah sebagai miniatur pendidikan karakter akan tercapai dan
pergerseran subtansi pendidikan kepengajaran bisa dikembalikan ketujuannya
semula.
Akhirnya berbicara gugat
menggugat tentang pendidikan karakter ini, semua orang bisa menggugatnya, yang
jelas siapkah seluruh insan pendidikan dan pengguna jasa pendidikan untuk
komitmen bersama menyelesaikan persoalan pendidikan karakter ini dengan penuh
tanggung jawab dan kearifan. Sebab bagaimanapun bangsa ini memerlukan generasi
yang cerdas, bijak dan bermoral . Sehingga masa depan bangsa ini terhindar dari
penyimpangan nilai dan norma yang akan menjerumuskan negara ini kepada krisis
moral yang berkepanjangan.
Sumber:
1.
RADAR BANTEN Selasa 12 Desember 2011
2. http://mgmpipskotaserang.wordpress.com/2012/07/09/contoh-tulisan-ilmiah-populer- yang-diterbitkan-2/