Jumat, 11 Januari 2013

Tulisan ke 14 Mata Kuliah Bahasa Indonesia (Prospek dan Tantangan Bisnis Ritel Makanan Tradisional)


Prospek dan Tantangan Bisnis Ritel Makanan Tradisional

Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan kuliner sangat luar biasa baik ragam maupun cita rasanya. Hampir semua daerah di Indonesia memiliki makanan khasnya masing-masing. Dari yang tradisional hingga berbagai varian baru hasil eksperimen dan modifikasi. Beberapa daerah bahkan memiliki lebih dari satu makanan khas. Kota Jember misalnya, kota di mana penulis tinggal.
.
Dari bahan baku singkong, selain diolah menjadi tape, muncul varian lain seperti Suwar-suwir (dodol tape), proll tape dan juga brownis tape. Rasanyapun sangat variatif. Suwar-suwir bahkan telah menjadi salah satu icon Kota Jember. Selain dikenal sebagai Kota Santri dan Kota Seribu Gumuk (bukit), Jember juga dikenal sebagai Kota Suwar-suwir. 

Bisa dibayangkan jika kekayaan kuliner tradisional khususnya oleh-oleh di seluruh penjuru Tanah Air diinventarisasi dengan baik. Bisa jadi, kita adalah negara dengan kekayaan makanan dan cemilan tradisional terbanyak di dunia. Dilihat dari perspektif bisnis, kekayaan ini bisa menjadi ‘tambang’ bisnis yang sangat potensial. Ia juga memiliki sejumlah nilai strategis lain dilihat dari aspek pemberdayaan ekonomi rakyat, pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran, pemanfaatan sumber daya alam hingga pelestarian budaya bangsa. Lebih dari itu, industri makanan khas daerah khususnya oleh-oleh, memiliki potensi besar untuk menembus pasar internasional. Jika ini terwujud, akan lebih banyak manfaat yang bisa diperoleh dari bisnis ini.

Dilihat dari besarnya potensi dan nilai strategis yang dimilikinya, bisnis ritel makanan berbasis local knowledge ini seharusnya menjadi perhatian semua pihak khususnya pemerintah daerah dan pihak terkait. Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan budaya yang salah satunya berbentuk makanan khas daerah termasuk oleh-oleh. Kekayaan ini didukung oleh sumber daya alam berupa bahan baku pangan yang sangat melimpah. Sangat disayangkan jika dua anugerah yang tidak semua negara di dunia memilikinya ini tidak dimanfaatkan secara optimal. 

Kedua, besarnya permintaan pasar. Budaya yang berkembang di masyarakat Indonesia telah menempatkan oleh-oleh sebagai sebuah kebutuhan. Baik mereka yang sedang bepergian ke suatu daerah atau mereka yang berada di luar daerahnya. Kerinduan pada daerah asal ikut menciptakan permintaan. Promosi pariwisata yang gencar hingga ke manca negara juga berpeluang mengakselerasi permintaan pasar.

Ketiga, pelaku utama bisnis oleh-oleh umumnya adalah industri kecil menengah (IKM) dan home industry yang biasanya digerakkan oleh tenaga kerja informal. Ini merupakan salah bentuk konkrit sektor riil berbasis masyarakat yang menjadi inti dari pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Jika lebih dioptimalkan, bisnis ini bisa menjadi andalan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat termasuk taraf hidup para petani sebagai penyuplai bahan baku termasuk juga sektor lain yang mendukung kelangsungan sektor ini seperti jasa transportasi.

Dan yang keempat, optimalisasi industri makanan khas daerah bisa menjadi sarana promosi sekaligus pelestarian budaya bangsa. Secara umum, industri berbasis local knowledge memiliki sejumlah keistimewaan. Selain sebagai sarana pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal atau setempat, industri berbasis local knowledge juga merupakan representasi dari budaya setempat sehingga bisa menjadi sarana pelestarian budaya mengingat sejumlah budaya di Indonesia termasuk kekayaan kulinernya mulai terancam kepunahan. Bisnis ritel makanan tradisional juga bisa mendongkrak promosi wisata daerah yang bersangkuta tidak hanya ke seluruh penjuru Tanah Air namun bisa juga ke seantero dunia.

Sumber:
http://ririnhandayani.blogspot.com/2012/11/prospek-dan-tantangan-bisnis-ritel.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar