Jumat, 12 Oktober 2012

Contoh Tulisan Ilmiah Populer


MENGGUGAT PENDIDIKAN KARAKTER
Suatu bangsa akan menjadi besar jika generasinya memiliki karakter yang baik dan pembentukan karakter hanya akan terjadi melalui proses pendidikan…

Pendidikan karakter di institusi-institusi pendidikan belakang ini mendapat banyak sorotan dari kalangan pengguna jasa dan pemerhati pendidikan baik di mediamassa, seminar, dan berbagai kesempatan. Hal ini sehubungan dengan maraknya penyimpangan prilaku yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan,perkelahian massa, , etika yang menipis kurangnya tenggang rasa dan tanggung jawab menjadi konsumsi sehari-hari di media masa, yang menghawatirkan kondisi ini muncul di lingkungan pelajar dan mahasiswa seolah-olah mereka tidak pernah mendapatkan pendidikan karakter sewaktu duduk di bangku sekolah. Sehingga persoalan karakter menjadi masalah moral yang serius di bumi Indonesia ini. Padahal Tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman , bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa , berakhlak mulia , sehat, berilmu, cakap , kreatif , madiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Bahkan secara implisit termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.”

Munculnya gugatan-gugatan terhadap institusi pendidikan mengenai bagaimana peranan selama ini dan hal-hal apa saja yang diajarkan di bangku-bangku sekolah tentang penanaman nilai-nilai karakter terhadap anak didik, perlu mendapatkan perhatian yang serius, sebab bagaimanapun institusi-intitusi pendidikan masih dipercaya sebagai lembaga-lembaga pewaris nilai-nilai karakter seperti yang terumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif yang diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Walau institusi pendidikan ini bukan satu-satu faktor penyebab munculnya penyimpangan prilaku yang terjadi saat ini.

”What’s wrong with our classrooms ? ” Pertanyaan inilah yang perlu kita ajukan sebagaimana John.F Kennedy merespon kekalahan kecanggihan teknologi Amerika oleh Rusia. Apa yang terjadi dengan ruang-ruang kelas kita selama ini , sehingga produk-produk pendidikan kita tidak sejalan dengan rumusan tujuan pendidikan nasional. ?

Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif . Pendidikan karakter dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa. Pendidikan nilai ini mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai-nilai kebenaran , kebaikan dan keindahan melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten ( Mulyana : 2004). Nilai-nilai karakter tersebut berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsaIndonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. Dengan nilai-nilai tersebut diharapkan mampu mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity). (Kemendiknas:2011).

Pada saat ini implemetasi pendidikan karakter di institusi-intitusi pendidikan dilakukan dengan 3 cara, yaitu kesatu program integrasi, yang beranjak dari pandangan komplementer proses belajar yang dianggap sebagai satu kesatuan yang utuh saling melengkapi. Ketika anak belajar Ilmu Pengetahuan Alam, ia diarahkan pada pertimbangan moral dan etika lingkungan; belajar matematika bukan hanya pandai menggunakan angka, tetapi ia harus mampu berpikir logis tentang masalah-masalah social; begitu juga dengan pelajaran-pelajaan lainnya. Lebih jauh program pengintegrasian ini pemerintah mengembangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi ( KBK) dan sebagai salah satu bentuk realisasi kebijakan desentralisasi di bidang pendidikan agar kurikulum benar-benar sesuai dengan kebutuhan pengembangan potensi peserta didik di sekolah yang bersangkutan di masa sekarang dan yang akan datang dengan mempertimbangkan kepentingan lokal , nasional dan tuntutan global dengan semangat Managemen Berbasis Sekolah ( MBS ) maka KBK disempurnakan menjadi Kurikulum Satuan Pendididkan ( KTSP) ( Depenas : 2006 ). Kurikulum ini bertujuan memadukan domain atau muatan kurikulum dalam diri peserta didik, sehingga kemampuan anak dalam mengembangkan potensi berpikir , perasaan dan tindakan dikembangkan secara seimbang melalui suatu pendekatan terpadu dalam metode maupun evaluasi. Untuk memperlancar tujuan itu pemerintah mewajibkan kepada intitusi-intitusi pendidikan dalam proses pembelajaran supaya mengembangkan pendekatan-pendekatan yang mengacu kepada pengembangan diri siswa. Pendekatan-pendekatan dalam pembelajaran yang disarankan diantaranya ; pembelajaran Kontekstual ( cotextual teaching and learning ), Cara Belajar Siswa Aktif ( CBSA), Belajar Quantum, Penilaian berbasis Kelas (PBK) yang tercakup dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ). Kedua kegiatan ekstrkurikuler, dalam kegiatan ini , proses pembelajaran nilai secara terpadu sering terjadi karena nilai dikembangkan melalui paket kegiatan yang memungkinkan siswa berinteraksi dengan teman, guru, masyarakat, benda , alat fasilitas, hewan, sistem organisasi, dan lain-lain yang membawa mereka pada kesadaran nilai , moral, etika , estetika, bahkan pada kesadaran nilai-nilai Ilahiyah. Kegiatan ini dikembangkan melalui kegiatan pramuka, pencinta alam, peringantan hari besar Islam (PHBI) dll. Ketiga melalui kurikulum tersembunyi, yaitu kurikulum yang tidak dipersiapkan dan direncanakan biasanya berupa aktifitas aktifitas nyata yang di lihat dan dirasakan oleh peserta didik di sekitar lingkungan dimana ia belajar.

Pergeseran subtansi Pendidikan.

Upaya-upaya pemerintah untuk mengembangkan pendidikan karakter ternyata tidak semulus apa yang diharapkan, banyak kendala yang dihadapi dilapangan . Diantaranya kendala pendidikan karakter terabaikan adalah terjadinya pergeseran subtansi pendidikan ke pengajaran. Makna pendidikan yang sarat dengan muatan nilai-nilai moral bergeser kepada pemaknaan pengajaran yang berkonotasi sebagai transfer pengetahuan. Lebih ironis lagi , sinyalemen itu terjadi pada mata pelajaran yang berlabelkan agama atau Pendidikan Kewargaan negara ( PKn) yang tentunya syarat dengan muatan nilai , moral, dan norma . Tampaknya tak sulit untuk kita temukan bahwa pada dua jenis mata pelajaran tersebut pengukuran aspek kognitif berlangsung seperti halnya terjadi pada mata pelajaran lain.

Perubahan subtansi pendidikan ke pengajaran berdampak langsung terhadap pembentukan kepribadian peserta didik. Otak siswa yang dijejali berbagai pengetahuanbakumenyebabkan peserta didik kurang kritis dan kreatif. Selain itu terabaikannya sistem nilai yang semestinya menyertai proses pembelajaran dapat mengakibatkan ketimpangan intelektual dengan emosional yang pada gilirannya akan melahirkan sosok spesialis yang kurang peduli terhadap lingkungan.

Terjadinya pergeseran subtansi pendidikan ini terutama disibebakan oleh ; Pertama, masih kukuhnya pengaruh paham assosiasi dan behaviorisme dalam pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran kita. Paham ini mengacu pada pertimbangan atribut-atribut luar seperti perubahan tingkah laku peserta didik yang dapat diamati dan di ukur karena pola jaminan belajarnya melalui serangkai test –teach –test.

Pendidikan hanya untuk memenuhi banking system of education yang membelengu peserta didik dari ketertindasan sehingga pengajaran hanya mengutamakan penguasaan materi pelajaran, (content-oriented ) bukan berorientasi pada kebutuhan perkembangan siswa ( student-oriented ) ( Freire dalam Suyanto :2004 ). Konsekuensinya, proses dan evaluasi keberhasilan pendidikan terpaku kepada yang dapat diangkakan. Pertanyaan yang bernada fesimistikpun muncul , seperti : Apakah nilai 9 pada pelajaran agama dan PKn sudah dapat mengukur kualitas ketaqwaan dan kesadaran menjadi warga negara yang baik ?. Padahal paham kurikulum yang seharusnya digunakan adalah pahan kognetif konstruktivisme yang lebih menekankan kepada proses pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara social dan cultural , mendorong siswa membangun pemahaman dan pengentahuan sendiri dalam kontek social , dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perfektif budaya.yang paham ini di Indonesia secara resmi penggunaanya telah dirintis sejak disosialisasikannya KBK tahun 2004 ( Khamdi :2004). Kedua, kapasitas mayoritas pendidik dalam mengangkat struktur dasar bahan ajar masih relative rendah . Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan sumber bacaan , kurangnya dukungan , pengalaman pendidikan yang kurang menguntungkan, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam setiap mata pelajaran terabaikan bahkan hilang dari pembelajaran. Faktor ini potensial untuk menjadi penyebab tidak sedikitnya peristiwa dalam pendidikan yang ”mencekoki ” peserta didik. Ketiga , masih kentalnya pandangan terhadap mata pelajaran tertentu . Dilain pihak , Ilmu Pengetahuan Alam dipandang cepat mendatangkan uang sehingga lebih disukai para peminat , sedang di lain pihak Ilmu pengetahuan sosial yang dipandang sebagai ilmu kelas dua kerap dianggap kurang menarik. Dengan demikian , pendidikan semestinya berperan sebagai ajang pemanusiaan manusia kian terdepak oleh nilai-nilai pragmatis demi mencapai tujuan material. Keempat Terdapatnya sifat kurang menguntungkan bagi tegaknya demokrasi pendidikan. Sikap kehati-hatian politis dari para pemimpin lembaga kependidikan yang diikuti oleh sikap tunduk dari bawahan dan pendirian konservatif yang diikuti oleh sikap resisten terhadap perubahan, merupakan factor penghambat tumbuhnya demokarasi pendidikan di lingkungan pendidikan formal . Kekuatan akar rumput ( grassroot ) yang seharusnya menjadi penggerak utama demokrasi pendidikan tidak jarang kurang mendapatkan tempat. Sikap dan pendirian demikian hanya akan melahirkan tindakan-tindakan kontra produktif, ikatan emosional seolah-olah, dan sikap acuh tak acuh pada diri pendidik dan peserta didik , yang makin lama makin terlembagakan. Kasus nyata dalam hal ini adalah kontroversinya pelaksanaan Ujian Nasional ( UN ). Padahal esensi pembaharuan pengajaran ke arah pendidikan khususnya dalam pendidikan karakter memerlukan elemen-elemen dasar pendidikan yang disemai dalam suasana kebersamaan., kebebasan, dan keberdayaan pendidik dan peserta didik. Kendala-kendala di atas apabila tidak segera dibenahi tidak menutup kemungkinan dekadensi moral dikalangan pelajar dan mahasiswa semakin menjadi-jadi, seperti yang diungkapkan oleh Zakia Daradjat ( 1977 ) , usaha untuk menanggulangi kemerosotan moral telah banyak dilakukan, baik oleh lembaga keagamaan, pendidikan, social, dan instansi pemerintah . Namun kemerosotan moral semakin menjadi-jadi , tidak saja terbatas di kota-kota besar melainkan juga sampai kepelosok-pelosok desa terpencil ( Retnaningrum : 2003 ).

Upaya pemecahan

Upaya penanggulangan permasalahan mengenai penyimpangan prilaku yang terjadi saat ini dilihat dari factor penyebabnya, sangat pelik karena melibatkan seluruh elemen lingkungan pendidikan mulai dari lingkungan sekolah , lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat yang diistilahkan oleh Ki Hajar Dewantoro dengan istilah Tri Pusat Pendidikan. Ketiga pusat pendidikan ini sangat tergantung satu sama lainnya dengan kata lain apabila terjadi kepincangan dalam satu lingkungan pendidikan akan berpengaruh ke lingkungan pendidikan lainnya. Pada saat ini ketiga lingkungan pendidikan ini telah terjadi keretakan ( Mulyana : 2004 ), keretakan ini disebabkan oleh derasnya terpaan globalisasi informasi dan modernisasi yang mengakibatkan terjadinya pergerakan perubahan dari proses hidup alamiah ke dunia baru yang cenderung individualistis dan materialistis . Tetapi apabila dikaji dari ketiga lingkungan tersebut lingkungan sekolah dipandang sangat dominan dalam upaya menanggulangi penyimpangan prilaku terutama dikalangan siswa dan mahasiswa, karena lingkungan ini adalah lingkungan pendidikan formal yang dibentuk secara sengaja dan dilembagakan yang didalamnya terjadi hubungan guru dan siswa, jadi lebih terprogram dan terarah dibandingkan dengan dua lingkungan pendidikan lainnya. Dilain pihak proses pembentukan kepribadian seseorang hanya terbatas ketika mencapai usia 20 atau 21 tahun. Jika melewati batas ini, sudah sulit memasukkan nilai-nilai karena harus membangun kembali kepribadian yang telah terbentuk ( reconstrucstion of personality )( Corner : 2003 ). Sedang usia sampai 20 atau 21 tahun itu berada di usia sekolah. Dari uraian di atas jelas upaya pertama di dalam penataan pendidikan karakter terhadap seseorang harus dimulai dari lingkungan sekolah khususnya dari ruang-ruang kelas atau dalam proses pembelajaran dimana siswa hampir separuh waktu setiap harinya dihabiskan diruang-ruang kelas.

Salah satu upaya untuk menerapkan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran , kita harus mempertimbangkan gagasan inovatif yang di ajukan oleh UNESCO tentang empat pilar pendidikan yang di gagas dalam rangka menata kembali dunia pendidikan yang di nilai mengalami sejumlah persoalan serius. Keempat pilar itu adalah ; belajar mengetahui ( learning to know ), belajar berbuat ( learning to do ) , belajar menjadi diri sendiri ( learning to be ) , dan belajar hidup bersama ( learning to live together ).

Keempat pilar ini bisa diadofsi dan di jadikan pedoman oleh guru didalam memberi perlakuan terhadap siswa dalam proses pembelajaran yang mengeintegrasikan pendidikan nilai dalam penyampaian materi pembelajaran di ruang-ruang kelas. Untuk itu guru dituntut untuk menyediakan suasana kondusif bagi perkembangan peserta didik. Penyediaan suasana kondusif ini dilakukan dengan cara-cara penyadaran nilai sebagai berikut; Pertama , peserta didik perlu dibimbing untuk memperluas wawasan pengetahuannya tentang nilai, sehingga mereka dapat memberikan alasan-alasan moral yang tepat sebelum mereka dituntut untuk melakukan dalam tindakannya. Pendekatan berpikir yang perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran adalah dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme , yakni membuka pengalaman , pengetahuan , dan pemahaman secara aktif dengan melibatkan alasan-alasan moral ( moral reasing ) siswa. Dengan cara demikian, proses belajar untuk mengetahui ( learnig to know ) terhadap nilai kebenaran , kebaikan , dan keindahan dapat dilakukan secara sukarela , walaupun akhirnya diperlukan penegasan-penegasan dari pihak pendidik.

Kedua , peserta didik perlu dibimbing untuk terampil melakukan tindakan dari apa yang diyakininya sebagai nilai kebenaran , kebaikan , dan keindahan. Tindakan atau perbuatan adalah dua hal yang melekat dalam kehidupan nyata, sehingga pada hakikatnya belajar bertindak dan berbuat merupakan belajar mengalami kehidupan sebenarnya. Hal ini berarti bahwa membimbing dan melatih peserta didik untuk belajar bertindak dan berbuat ( learning to do ) proses pembelajaran harus kontekstual ( contextual teaching and learning ) sesuai dengan pengalaman hidup yang tengah dialami dan diprediksi perilaku di masa mendatang.

Ketiga, peserta didik perlu dibimbing kea rah pemilikan sifat-sifat yang baik secara melekat. Untuk itu perlu adanya konsistensi , intensitas dan frekuensi dalam pembiasaan hal-hal terpuji pada peserta didik sehingga belajar untuk dirinya sendiri ( learning to be ) benar-benar melibatkan proses internalisasi yang mendalam. Ke empat , Peserta didik perlu dibimbing untuk hidup secara harmonis dengan lingkungannya. Ia tidak dapat hidup tanpa adanya kepentingan dengan orang lain. Maka dalam proses pembelajaran siswa harus lebih diarahkan pada kerja sama di dalam memecahkan permasalah-permasalahan di kelas ( learning community ) contohnya dengan menerapkan pendekatan cooperative learning Sehingga siswa terpasilitasi untuk belajar hidup bersama ( learning to live together ).

Penjabaran ke empat pilar itu sebenarnya pada saat ini sudah dikembangkan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual, yang dikenal dengan tujuh komponen CTL yang merupakan salah satu ciri khas pendekatan pembelajaran KTSP. Ketujuh komponen itu ialah ; konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).

Dengan demikian apabila sekolah khususnya guru melaksanakan KTSP dengan konsisten, pendidikan nilai bukan merupakan masalah lagi dalam penerapan di seting-seting kelas. Diharapkan dengan melaksanakan cara-cara penerapan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran di atas, pendidikan karakter di instusi-intitusi pendidikan akan berjalan dengan baik. Pendidikan karakter diruang-ruang kelas merupakan awal yang baik dalam menanamkan nilai-nilai, norma dan etika, sebab diruang-ruang kelas inilah siswa diperkenalkan dengan nilai dan norma, apalagi ditunjang dengan kegiatan ekstrakurikuler yang terprogram dan pengembangan kurikulum tersebunyi dalam artian segenap warga sekolah mulai dari kepala sekolah , guru , karyawan memberikan contoh nilai-nilai yang baik dalam lingkungan sekolah. Sebagai contoh apabila dalam suatu sekolah ada gairah siswa untuk melakukan shalat berjamaan di mesjid sekolah, karena kepala sekolah dan guru sering melakukan itu. Sebaliknya , adalah tidak mudah untuk merendam perselisihan antar siswa di suatu sekolah karena gurunya pun sering memperlihatkan sikap tidak bersahabat dengan rekannya. Apabila itu semua terwujud, untuk membentuk lingkungan sekolah sebagai miniatur pendidikan karakter akan tercapai dan pergerseran subtansi pendidikan kepengajaran bisa dikembalikan ketujuannya semula.

Akhirnya berbicara gugat menggugat tentang pendidikan karakter ini, semua orang bisa menggugatnya, yang jelas siapkah seluruh insan pendidikan dan pengguna jasa pendidikan untuk komitmen bersama menyelesaikan persoalan pendidikan karakter ini dengan penuh tanggung jawab dan kearifan. Sebab bagaimanapun bangsa ini memerlukan generasi yang cerdas, bijak dan bermoral . Sehingga masa depan bangsa ini terhindar dari penyimpangan nilai dan norma yang akan menjerumuskan negara ini kepada krisis moral yang berkepanjangan.

Sumber:
1.       RADAR BANTEN Selasa 12 Desember 2011
2.      http://mgmpipskotaserang.wordpress.com/2012/07/09/contoh-tulisan-ilmiah-populer-     yang-diterbitkan-2/

Sabtu, 06 Oktober 2012

Koperasi dan Landasan Hukumnya

 
 
Koperasi dan Landasan Hukumnya

Secara harfiah kata Koperasi berasal dari bahasa inggris yaitu Coperation yang terdiri dari Co yang berarti bersama dan Operation yang berarti bekerja.
Sehingga secara harfiah Koperasi dapat diartikan sebagai bentuk Kerjasama.
Dan Koperasi juga dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi bisnis yang dimiliki dan dioperasikan oleh orang-seorang demi kepentingan bersama.[1] Koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.[2]

Koperasi di Indonesia
Koperasi di Indonesia, menurut UU tahun 1992, didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.[3] Di Indonesia, prinsip koperasi telah dicantumkan dalam UU No. 12 Tahun 1967 dan UU No. 25 Tahun 1992.[4]
Prinsip koperasi di Indonesia kurang lebih sama dengan prinsip yang diakui dunia internasional dengan adanya sedikit perbedaan, yaitu adanya penjelasan mengenai SHU (Sisa Hasil Usaha).[5]
Landasan Hukum Koperasi
Di Indonesia bentuk suatu Koperasi adalah berbadan hukum dimana menurut Undang-Undang No.12 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian yang telah direvisi menjadi Undang –Undang No. 25/1992 tentang perkoperasian Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan .(pasal1 ayat 1 ).
Selain peraturan undang-undang diatas, masih banyak lagi peraturan-peraturan di Indonesia yang mengatur tentang kegiatan Koperasi, baik itu yang besifat undang-undang maupun peraturan turanan dari undang-undang tersebut, antara lain:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1994 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akte Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar;
  2. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 01/Per/M.KUKM/I/2006 tanggal 9 Januari 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembentukan, Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi; 
  3. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 98/Kep/KEP/KUKM/X/2004 tanggal 24 September 2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akte Pendirian Koperasi;
 
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Koperasi
http://ikasamsumantri.wordpress.com/2011/10/17/dasar-hukum-koperasi/

     
    1. (Inggris)O'Sullivan, Arthur (2003). Economics: Principles in action. Upper Saddle River, New Jersey 07458: Pearson Prentice Hall. hlm. 202. ISBN 0-13-063085-3.
    2. Ningsih, Murni Iran Koperasi
    3. Hendar & Kusnadi, Ekonomi Koperasi, Lembaga Penerbit FEUI, 2005, hal 18-23
    4. Idem
    5. Idem